Perlindungan Saksi dan Korban
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga masyarakat. Dalam proses peradilan pidana terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Hal tersebut melatar belakangi di bentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di undangkan pada 11 Agustus 2006. Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban, yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (disingkat LPSK) adalah lembaga nonstruktural yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi dapat diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum, aparat keamanan, dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban.
Sebelum saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, Pemohon harus melewati beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK disamping harus memenuhi persyaratan untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 28 - pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang berbunyi: Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Pasal 28 memberikan penjelasan bahwa setiap saksi dan/atau korban dapat menerima perlindungan hukum dari LPSK jika memenuhi syarat-syarat di atas, yaitu setiap keterangan yang diberikan oleh Saksi dan/atau Korban dalam suatu sidang di pengadilan haruslah bersifat penting. Selain itu juga adanya ancaman dari luar yang mungkin membahayakan nyawa para saksi dan/atau korban serta membahayakan keluarganya. Tata Cara pemberian Perlindungan terhadap saksi dan korban dipaparkan dalam pasal 29 UU No. 13 Tahun 2006 yang berbunyi: Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut:
a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Selain Saksi dan Korban subjek yang mendapat perlindungan LPSK yaitu: Saksi pelaku, Pelapor, dan Ahli. Kasus prioritas perlindungan LPSK antara lain:
1. Terorisme
Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
2. Pelanggaran HAM berat
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
3. Korupsi
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
4. Pencucian Uang
Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
5. Narkoba
Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
6. Perdangan Orang
Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
7. Kekerasan Seksual terhadp Anak
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, seperti diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2020 tentang Perlindungan Anak.
8. Penyiksaan
Tindakan dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan, seperti diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
9. Penganiayaan Berat
Penganiayaan yang menyebabkan timbulnya dampak luka berat.
Informasi lebih lanjut menganai Perlindungan Saksi dan Korban dapat menguhubungi kontak LPSK pada:
Website LPSK pada
https://lpsk.go.id/ atau
Alamat
Jl. Raya Bogor Km 24 No.47-49, Susukan Ciracas Jakarta Timur 13750
Telp (021)29681560. Fax (021)29681551
Email :lpsk_ri@lpsk.go.id